Jordan Malindo
Jumat, 26 Juli 2013
Selasa, 11 Desember 2012
Tambang Batubara Bawah Tanah
LAPORAN PRAKTEK
KEGIATAN PENAMBANGAN BATUBARA
BAWAH TANAH
DI BALAI DIKLAT TAMBANG BAWAH TANAH
SAWAHLUNTO – SUMATERA BARAT
Oleh :
Jois Malindo Dano
KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL
BALAI PENDIDIKAN DAN PELATIHAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL
PERGURUAN TINGGI KEDINASAN AKADEMI MINYAK DAN GAS BUMI
PTK AKAMIGAS - STEM
Cepu, November 2012
KATA
PENGANTAR
Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
segala rahmat dan berkat-Nya penulis dapat menyelesaikan “LAPORAN HASIL PRAKTEK KEGIATAN
PENAMBANGAN BATUBARA BAWAH TANAH DI BALAI DIKLAT TAMBANG BAWAH TANAH SAWAHLUNTO
– SUMATERA BARAT”.
Laporan ini merupakan
hasil dari kegiatan Praktek Kerja Lapangan (PKL) mahasiswa Jurusan Teknik Umum
Program Studi Keinspekturan (Tambang) Diploma III, yang dilaksanakan pada
tanggal 23 s/d 25 November 2012.
Penulis menyadari bahwa
dalam penulisan laporan ini masih jauh dari sempurna, oleh sebab itu penulis sangat mengharapkan adanya saran dan kritik
yang membangun dari seluruh pihak sebagai
bahan pembelajaran bagi penulis.
Semoga laporan ini dapat memberi motivasi bagi penulis khususnya dan
mahasiswa Inspektur
Tambang pada umumnya.
Cepu, November 2012
Penulis,
(Jois Malindo Dano)
|
I.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Penulisan
Pertambangan batubara bawah tanah memiliki risiko keamanan yang lebih tinggi daripada batubara yang
ditambang dengan metode tambang terbuka, terutama karena masalah yang terkait
dengan ventilasi tambang dan potensi runtuhnya tambang serta kebakaran dan
ledakan tambang.
Ledakan tambang merupakan risiko keamanan
yang sangat lazim di tambang bawah tanah. Berbagai teknik telah dikembangkan
untuk menghilangkan dan/atau mengencerkan emisi metana baik sebelum dan selama
pertambangan dan hal ini telah membantu mengurangi ledakan metana secara
signifikan terkait dengan tambang bawah tanah.
Tambang batubara modern memiliki prosedur
keamanan yang ketat. Standar kesehatan dan keselamatan pekerja serta pendidikan
dan pelatihan telah membawa perbaikan yang signifikan dalam tingkat keselamatan
di tambang bawah tanah.
1.2. Maksud dan Tujuan
Maksud dari kegiatan praktek Penambangan Batubara Bawah Tanah adalah agar kita dapat memahami
pengertian tambang bawah tanah serta sistem penambangan batubara bawah
tanah dengan metode Long Wall, cara ekstraksi dan cara mencegah terjadinya kebakaran dan ledakan di tambang batubara bawah
tanah.
Tujuan kegiatan praktek ini adalah agar kita mampu memahami pengertian tambang
bawah tanah, sistem penambangan dengan metode
Longwall, serta mampu mencegah terjadinya kebakaran dan
ledakan di tambang bawah tanah.
1.3. Masalah
Pembahasan pada laporan praktek ini dibatasi pada
hal-hal yang berkaitan dengan Kegiatan Penambangan Batubara Bawah Tanah yang meliputi :
1.
Teknik penambangan batubara bawah tanah dengan metode
Long Wall.
2.
Ventilasi tambang batubara bawah tanah.
3.
Kebakaran dan Ledakan di tambang batubara bawah tanah.
1.4.
Manfaat
Manfaat dilakukannya kegiatan penambangan batubara
bawah tanah adalah agar kita dapat menambah wawasan atau pengetahuan di
bidang pertambangan khususnya tambang bawah tanah dengan metode Long wall.
1.5.
Lokasi
Praktek penambangan
batubara bawah tanah dilakukan di Balai Diklat Tambang Bawah Tanah (BDTBT) yang
terletak di Jln. Soekarno Hatta, Sungai Durian II Sawahlunto Barat, Kota
Sawahlunto Provinsi Sumatera Barat. Untuk menuju ke lokasi pelatihan dapat
ditempuh dengan kendaraan roda dua dan angkutan umum. Jarak tempuh sekitar 15
Km ke arah barat dari kota Sawahlunto.
II. KAJIAN PUSTAKA
2.1.
Geologi Daerah
990
|
1000
|
1010
|
1020
|
990
|
1000
|
1010
|
1020
|
10
|
00
|
-10
|
-20
|
10
|
00
|
-10
|
-20
|
Gambar 2.1. Peta
Geologi Daerah Sawahlunto
2.1.1. Geomorfologi
Daerah
Bentang alam makro sebagai
produk kegiatan Tektonik Global. Pegunungan: Gunung api, Plateau, Kubah,
Lipatan (fold),Patahan (fault) dll. Dataran : Dataran Pantai, Delta, Rawa,
Danau, Banjir, Sungai dsb. Pantai: Pantai Landai, Berlumpur, Berpasir, Terumbu
Karang, Terjal, Teluk, dan sebagainya.
2.1.2. Ikim dan Cuaca
Faktor iklim dan cuaca
sangat berpengaruh dalam pertambangan terutama pada pertambangan terbuka. Pada
dasarnya iklim bukanlah komponen lingkungan yang terkena dampak, melainkan faktor
terbesar intensitas dampak seperti erosi lahan dan kestabilan tanah. Diantara faktor
iklim yang harus dikemukakan adalah faktor curah hujan . Wilayah kota
Sawahlunto umumnya mempunyai iklim tropis dengan suhu berkisar antara 22oC,
sepanjang tahun terdapat dua musim yaitu musim hujan pada bulan November sampai
Juni dan musim kemarau pada bulan Juli sampai bulan Oktober. Curah hujan
rata-rata sebesar 1.071,6 milimeter/tahun dan curah hujan rata-rata tertinggi
terjadi pada bulan Desember.
Apabila musim hujan tiba,
maka kegiatan penambangan akan menjadi terhambat dan harus dihentikan ketika
hujan turun deras, karena kondisi jalan di daerah pertambangan yang licin dan
berbahaya.
2.1.3.
Geologi Regional
Secara umum geologi daerah
ini berupa perbukitan yang memanjang dari arah barat laut – Tenggara dengan
ketinggian berkisar antara 200 - 900 meter
di atas permukaan laut. Kota
Sawahlunto terletak pada formasi sawahlunto, batuan yang terbentuk pada zaman
Eochen sekitar 40-60 juta tahun yang lalu. Para ahli geologi berpendapat bahwa
kepulauan nusantara yang kita kenal sekarang ini terbentuk sekitar 4 juta tahun
yang lalu.
Mereka menduga ketika
formasi sawahlunto terbentuk, pulau Sumatra belum ada seperti yang kita kenal
saat ini. Batuan dari zaman pra-terisier yang terangkat ke pemukaan dengan cara
struktur garben lalu diendapkan dengan batuan-batuan sedimen yang berumur
terisier pada cekungan dan menghasilkan batuan intrusi terisier. Hasil erosi
dari batuan intrusi terbawa dan mengendap di sekitar aliran sungai lalu
menghasilkan endapan alluvial. Satuan batuan tersebut terdiri dari:
1)
Batu Gamping – Argit.
2)
Batu Granit.
3)
Konglomerat.
4)
Batu Lempung - Batu Pasir.
5)
Batu Lempung - Batu Lanau.
6)
Batu Pasir.
7)
Tufa Batu Apung.
Dari bentuk topografi yang
berkembang dapat ditafsirkan bahwa daerah ini dipengaruhi oleh aktivitas
tektonik baik lipatan maupun sesar. Hal ini dapat dilihat dari bentuk sungai
yang menyiku, menandakan bahwa sungai tersebut terbentuk akibat terjadinya
celah atau rekahan yang relatif merupakan zona lemah, kemudian air mengerosi
sepanjang rekahan.
Perbukitan
yang terjadi menggambarkan daerah ini telah terjadi pengangkatan dan kemudian
terbentuk lipatan. Tanah formasi sawahlunto mengandung butiran pasir yang dapat
mengalirkan air. Akan tetapi berdasarkan penampang geologi ombilin diduga air
tersebut lolos ke tempat yang lain. Aspek geologi yang sangat perlu mendapat
perhatian sangat serius dalam perencanaan dan pengembangan kota Sawahlunto
adalah Sesar dan Gempa.
2.I.4. Stratigrafi Daerah
Seperti di daerah lain di
Indonesia, iklim pada daerah ini adalah tropis dengan suhu berkisar antara 22°C
sampai 33°C. Daerah Sawahlunto juga berhubungan dengan penujaman lempeng di
daerah busur kepulauan, penujaman lempeng terjadi disebelah barat pulau Sumatra
yaitu lempeng Samudra Hindia yang masuk ke lempeng Eurasia. Akibat dari
kegiatan tektonik ini terjadi perlipatan (Fold), patahan (Fault) intrusi dan
terbentuknya cekungan ombilin yang merupakan cekungan antar pegunungan (inter
mountain basin).
Proses selanjutnya batuan
terisier mengisi bagian tengah dan atas cekungan ini yang termasuk dalam
Formasi Brani, Formasi Sangkawerang, Formasi Sawahlunto, Formasi Sawahtambang,
Formasi Ombilin, dan Formasi Ranau. Stratigrafi Sawahlunto berdasarkan umurnya
dapat dibagi menjadi dua bagian utama, dapat dilihat pada penjelasan di bawah
ini.
1)
Komplek batuan pra terisier
terdiri :
a)
Formasi Silungkang
Formasi ini dibedakan menjadi 4 (empat) satuan,
yaitu : lava andesit, lava basalt, tufa andesit, dan tufa basalt.
b)
Formasi Tuhur
Formasi ini dicirikan oleh lempung abu-abu
kehitaman berlapisan baik, dengan sisipan-sisipan batu pasir dan batu gamping
hitam.
2)
Komplek batuan Terisier terdiri
dari :
a)
Formasi Brani, formasi ini
terdiri dari konglomerat dan batu pasir kasar yang berwarna coklat keunguan
dengan kondisi terpilah baik (well sorted), padat, keras dan umumnya
memperlihatkan adanya suatu perlapisan.
b)
Formasi Sangkarewang, formasi
ini terdiri dari serpih gampingan sampai napal berwarna coklat kehitaman,
berlapis halus dan mengandung fosil ikan serta tumbuhan yang diendapkan pada
lingkungan air tawar.
c)
Formasi Sawahlunto, formasi ini
merupakan formasi paling penting karena mengandung batubara yang dicirikan oleh
batu lanau, batu lempung, dan berselingan dengan batubara. Formasi ini diendapkan
pada lingkungan sungai.
d)
Formasi Sawahtambang, bagian
bawah formasi ini dicirikan oleh beberapa siklus endapan yang terdiri dari batu
pasir konglomerat tanpa adanya sisipan lempung atau batu lanau.
e)
Formasi Ombilin, formasi ini
terdiri dari lempung gampingan, napal, dan pasir gampingan yang berwarna
abu-abu kehitaman, berlapis tipis, dan mengandung fosil.
f)
Formasi Ranau, formasi ini
terdiri dari tufa, breksi, batu apung berwarna abu-abu kehitaman.
Proses penambangan batubara
pada saat ini terletak di bagian barat Cekungan Ombilin dan terdapat pada
Formasi Sawahlunto yang terdiri dari batu lempung (clay stone), batu pasir
(sand stone), dan batu Lanau (silkstone) dengan sisipan batubara. Formasi
sawahlunto ini terletak pada dua jalur yang terpisah yaitu jalur yang menjurus
dari Sawahlunto sampai ke Sawahrasau dan dari Tanah Hitam terus ke timur dan
kemudian kearah utara yang disebut Parambahan.
2.I.5. Cadangan dan Kualitas
batubara
A.
Cadangan Batubara
Endapan batubara yang
terdapat di Ombilin terbagi menjadi 3 lapisan, yaitu lapisanA, B, dan C dengan
susunan sebagai berikut :
1.
Lapisan A, Mempunyai ketebalan
antara 1,5 - 2,7 meter dengan kemiringan 3° sampai 18° dan ketebalan overburden
antara 40 - 300 meter.
2.
Lapisan B1, mempunyai ketebalan
antara 0,6 - 1,5 meter dengan kemiringan 3° sampai 23° dan tebal interburden 10
-15 meter.
3.
Lapisan B2, mempunyai ketebalan
antara 0,8 - 1,5 meter dengan kemiringan 3° sampai 23° dan tebal interburden
0,8 - 3 meter.
4.
Lapisan C, mempunyai ketebalan
antara 5,0 - 7,0 meter dengan kemiringan 3° sampai 24° dan tebal inteburden 14 -
20 meter.
B. Kualitas Batubara
Menurut klasifikasi ASTM (American Society for
Testing Material) Batubara ombilin termasuk dalam Bituminous High Volatile B
dengan nilai kalori 6.800 – 7.200 kcal/kg. Hasil ini didapat dari analisa
Proximate dan analisa Ultimate yang menunjukan kadar belerang dan kadar abu
yang rendah sedangkan bobot isi rata-rata batubara dari hasil eksplorasi adalah
1,30 ton/m.
2.2.
Kesampaian Daerah
Estimasi perjalanan dari Cepu-Sawahlunto memerlukan
waktu sekitar 16 jam yang ditempuh dengan menggunakan kendaraan roda empat
(Bus) dan juga pesawat terbang.
Dari Cepu menuju Surabaya, dapat ditempuh dalam
waktu ± 4 jam dengan menggunakan kendaraan roda empat. Selanjutnya perjalanan
dilanjutkan dengan menggunakan pesawat udara dari Surabaya - Jakarta dan
Jakarta - Padang dengan lama penerbangan ± 3 jam.
Perjalanan dari bandar udara Minangkabau menuju Balai
Diklat Tambang Bawah Tanah Sawahlunto, ditempuh dalam waktu ± 5 jam perjalanan
dengan menggunakan kendaraan roda empat (Bus).
III.
TINJAUAN
PUSTAKA
3.1. Teknik/Sistem Penambangan
Penambangan adalah pekerjaan
pengambilan endapan bahan galian dari batuan induknya. Sistem Penambangan ada 2 (dua) macam yakni sistim tambang terbuka dan
sistim tambang bawah tanah.
Sistim tambang terbuka adalah
sistim penambangan endapan bahan galian atau segala kegiatan penambangan yang
dilakukan pada atau dekat permukaan bumi yang berhubungan langsung dengan udara
luar. Sistem
Penambangan Terbuka adalah Open Pit/Open Mine dan Open
Cut/Open Cast, Quarry, Stripe Mining dan Alluvial
Mining.
Sistim tambang bawah tanah
adalah sistem penambangan endapan bahan galian atau segala kegiatan penambangan
yang dilakukan jauh dari permukaan bumi, tidak berhubungan langsung dengan
udara luar. Metode penambangan bawah tanah untuk bijih
adalah Open Stope Methode, Supporting
Stope Methode dan Caving Methode, sedangkan metode penambangan untuk batubara ada 2 (dua) yakni Long Wall
dan Room and Pilar.
Cara pemilihan sistem
penambangan adalah dengan perhitungan Break Even Striping Ratio (BESR).
BESR = A – B / C
A
= Nilai endapan per ton biji
B
= Biaya operasi per ton biji
C
= Biaya pengupasan per ton tanah penutup
|
Jika BESR < 1 maka
sistim penambangan yang dipakai adalah dengan sistem tambang bawah tanah sedangkan jika BESR > 1
maka sistim penambangan yang dipakai adalah sistem tambang terbuka, tapi
bila BESR = 1 maka tidak ada keuntungan (pulang pokok).
3.1.1. Penentuan Sistem/Metode Penambangan Batubara.
Sebelum melakukan penambangan batubara maka kita
perlu melakukan beberapa tahapan kegiatan untuk menentukan sistem penambangan
mana yang sebaiknya dipakai. Tahapan kegiatan tersebut adalah:
1.
Surveying.
Kegiatan
awal yang dilakukan untuk mengetahui kondisi areal yang akan ditambang,
biasanya aktivitas dilakukan dengan melihat kualitas kadar material tambang dan kondisi areal pertambangan untuk penentuan design tambang yang baik dilakukan explorasi.
2.
Mine Plan.
Setelah
hasil dari surveying didapat untuk selanjutnya dilakukan perencanaan untuk
pengeboran, biasanya tahap ini dinamakan
sebagai mine planning karena dari hasil survey tadi ketika
mendapatkan hasilnya, maka
dilakukan perencanaan untuk kegiatan penambangan baik itu design mine, pemetaan
dan metode-metode dalam kegiatan
penambangan.
3.
Implementasi atau Explorasi.
Setelah
semua perencaan sudah final saatnya untuk menerapkan atau melakukan kegiatan
penambangan dengan beberapa metode :
·
Penambangan Terbuka
·
Penambangan Bawah Tanah
·
Penambangan dengan Auger
3.1.2. Penambangan Batubara Dengan Sistem Tambang Terbuka
Kegiatan-kegiatan dalam tambang batubara dengan
sistem tambang terbuka yaitu :
1.
Persiapan daerah penambangan.
2.
Pengupasan dan penimbunan tanah humus.
3.
Pengupasan tanah penutup.
4.
Pemuatan dan pembuangan tanah penutup (misalnya
dengan shovel dan truk, BWE, dan dragline).
5.
Penggalian batubara.
6.
Pemuatan dan pengangkutan batubara.
7.
Penirisan tambang.
8.
Reklamasi.
Pengelompokan jenis-jenis tambang
terbuka batubara didasarkan pada letak endapan, dan alat-alat mekanis yang
dipergunakan. Teknik penambangan pada umumnya dipengaruhi oleh kondisi geologi dan topografi daerah yang akan ditambang. Jenis-jenis
tambang terbuka batubara dibagi menjadi :
1. Contour mining
Contour mining cocok diterapkan untuk endapan batubara
yang tersingkap di lereng pegunungan atau bukit. Cara penambangannya diawali
dengan pengupasan tanah penutup (overburden) di daerah singkapan di sepanjang
lereng mengikuti garis ketinggian (kontur), kemudian diikuti dengan penambangan
endapan batubaranya. Penambangan dilanjutkan ke arah tebing sampai dicapai
batas endapan yang masih ekonomis bila ditambang. Menurut Robert
Meyers, contour mining dibagi menjadi beberapa metode, antara lain Conventional contour mining, Block-cut contour mining, Haulback contour mining dan Box-cut contour mining.
2.
Mountaintop removal
method
Metode mountaintop removal method ini dikenal dan berkembang cepat, khususnya di Kentucky
Timur (Amerika Serikat). Dengan metode ini lapisan tanah penutup dapat terkupas
seluruhnya, sehingga memungkinkan perolehan batubara 100%.
3.
Area mining method
Metode ini diterapkan untuk menambang endapan batubara yang dekat permukaan
pada daerah mendatar sampai agak landai. Penambangannya dimulai dari singkapan
batubara yang mempunyai lapisan dan tanah penutup dangkal dilanjutkan ke
yang lebih tebal sampai batas pit. Terdapat tiga cara penambangan area mining
method yaitu :
a. Conventional area mining method
b. Area mining with stripping shovel
c. Block area mining
4. Open pit Method
Metode ini digunakan untuk endapan batubara yang memiliki kemiringan (dip)
yang besar dan curam. Endapan batubara harus tebal bila lapisan tanah
penutupnya cukup tebal.
a.
Lapisan miring, cara ini dapat diterapkan pada lapisan batubara yang
terdiri dari satu lapisan (single seam) atau lebih (multiple seam). Pada cara
ini lapisan tanah penutup yang telah dapat ditimbun di kedua sisi pada
masing-masing pengupasan.
b.
Lapisan tebal, pada cara ini penambangan dimulai
dengan melakukan pengupasan tanah penutup dan penimbunan dilakukan pada daerah
yang sudah ditambang. Sebelum dimulai, harus tersedia dahulu daerah singkapan
yang cukup untuk dijadikan daerah penimbunan pada operasi berikutnya. Pada cara ini, baik pada
pengupasan tanah penutup maupun penggalian batubaranya, digunakan sistem
jenjang (benching system).
3.1.3. Penambangan Batubara Dengan
Sistem Bawah Tanah
Dalam sistem penambangan
batubara bawah tanah, ada 2 (dua) metode yang popular, yaitu; Room and Pillar dan Longwall.
1.
Room and Pillar
Metode penambangan ini dicirikan dengan meninggalkan pilar-pilar batubara
sebagai penyangga alamiah. Metode ini biasa diterapkan pada daerah dimana
penurunan (subsidence) tidak diijinkan. Penambangan ini dapat dilaksanakan
secara manual maupun mekanis.
Gambar 3.1. Metode Room and
Pillar
2.
Longwall
Metode penambangan ini dicirikan dengan membuat panel-panel penambangan
dimana ambrukan batuan atap diijinkan terjadi di belakang daerah penggalian.
Layout Metode Longwall dapat dilihat pada Gambar 3.2 Penambangan ini juga
dapat dilaksanakan secara manual maupun mekanis.
Gambar 3.2. Metode Long Wall
3.1.4. Penambangan Dengan Auger
(Auger Mining)
Auger
mining adalah sebuah metode penambangan untuk permukaan
dengan dinding yang tinggi atau penemuan singkapan (outcrop recovery) dari
batubara dengan pemboran ataupun penggalian bukaan ke dalam lapisan di antara
lapisan penutup. Auger
mining dilahirkan sebelum 1940-an adalah metode untuk mendapatkan
batubara dari sisi kiri dinding tinggi setelah penambangan permukaan secara
konvensional. Penambangan batubara dengan auger bekerja dengan prinsip skala
besar drag bit rotary drill. Tanpa merusak batubara, auger mengekstraksi dan
menaikkan batubara dari lubang dengan memiringkan konveyor atau pemuatan dengan
menggunakan loader ke dalam truk.
Pengembangan dan persiapan daerah
untuk auger mining adalah tugas yang mudah jika dilakukan bersamaan dengan
pemakaian metode open cast atau open pit. Setelah kondisi dinding tinggi, auger
drilling dapat ditempatkan pada lokasi. Kondisi endapan yang dapat menggunakan
metode ini berdasarkan Pfleider (1973) dan Anon (1979) adalah endapan yang
memiliki penyebaran yang baik dan kemiringannya mendekati horisontal, serta
kedalamannya dangkal terbatas sampai ketinggian dinding dimana auger
ditempatkan.
3.2. Ventilasi
Tambang Bawah Tanah
Ventilasi tambang merupakan suatu usaha pengendalian terhadap pergerakan
udara atau aliran udara tambang termasuk di dalamnya adalah jumlah, mutu dan
arah alirannya. Adapun tujuan utama dari ventilasi tambang adalah menyediakan
udara segar dengan kuantitas dan kualitas yang cukup baik, kemudian mengalirkan
serta membagi udara segar tersebut ke dalam tambang sehingga tercipta kondisi
kerja yang aman dan nyaman baik bagi para pekerja tambang maupun proses
penambangan. Secara rinci tujuan ventilasi pada tambang bawah tanah
adalah :
1.
Menyediakan oksigen bagi pernapasan manusia.
2.
Mengencerkan gas – gas berbahaya dan beracun yang
ada di dalam tambang, sehingga tidak membahayakan bagi para pekerja tambang.
3.
Menurunkan temperatur udara tambang, sehingga dapat
dicapai lingkungan kerja yang nyaman.
4.
Mengurangi konsentrasi debu yang timbul akibat
kegiatan produksi yang dilakukan di dalam tambang.
Pada pengaturan aliran udara dalam
ventilasi tambang bawah tanah, berlaku prinsip aliran udara tambang yaitu :
1.
Aliran udara bergerak dari tekanan yang lebih
tinggi ke tekanan yang lebih rendah.
2.
Udara akan mengalir dari tempat yang bertemperatur
lebih rendah ke tempat yang bertemperatur lebih tinggi.
3.
Udara akan lebih banyak mengalir melalui
jalur-jalur ventilasi yang memberikan tahanan yang lebih kecil dibandingkan
dengan jalur bertahanan yang lebih besar.
4.
Tekanan Ventilasi tetap memperhatikan tekanan
atmosfir, bisa positif (Blowing) atau negatif (Exhausting).
5.
Aliran udara mengikuti hukum kuadrat yaitu hubungan
antara quantity dan tekanan, bila quantity diperbesar dua kali lipat maka
dibutuhkan tekanan empat kali lipat.
6.
Hukum-hukum mekanika fluida akan selalu diikuti
dalam perhitungan pada ventilasi tambang.
3.2.1. Jenis – Jenis Ventilasi Tambang
Jenis-jenis ventilasi dapat digolongkan
berdasarkan beberapa hal berikut ini antara lain :
·
Penggolongan berdasarkan metode pembangkitan daya
ventilasi, terdiri dari : Ventilasi alami dan ventilasi mesin.
·
Penggolongan berdasarkan tekanan ventilasi pada
ventilasi mesin, terdiri dari : Ventilasi tiup
dan ventilasi sedot.
·
Penggolongan berdasarkan letak intake dan outake
airway, terdiri dari : ventilasi terpusat dan ventilasi diagonal.
1.
Ventilasi Alami (natural
ventilation)
Jika suatu tambang memiliki dua
shaft yang saling berhubungan pada kedalaman tertentu, sejumlah udara akan
mengalir masuk ke dalam tambang meskipun tanpa alat mekanis. Ventilasi alam
disebabkan udara pada downcast shaft
lebih dingin dari udara pada upcast shaft.
Dan juga dipengaruhi
oleh perbedaan tekanan dan densitas udara antara dua shaft yang saling berhubungan tersebut.
Ventilasi alami terutama terjadi
karena perbedaan temperatur di dalam dan luar pit. Temperatur di dalam pit akan
mempengaruhi terjadinya ventilasi alami, sehingga apabila terdapat perbedaan
temperatur intake airway dan return airway yang ketinggian mulut pit intake dan
out takenya berbeda, akan timbul perbedaan kerapatan udara di dalam dan di luar
pit atau udara di intake airway dan return airway akibat perbedaan temperatur,
dan akan membangkitkan daya ventilasi.
2. Ventilasi Mekanis (artificial / mechanical ventilation)
Ventilasi mekanis adalah jenis ventilasi
dimana aliran udara masuk ke dalam tambang disebabkan oleh perbedaan tekanan
yang ditimbulkan oleh alat mekanis. Berdasarkan cara menimbulkan udaranya serta
letak mesinnya, ventilasi mekanis
dibedakan menjadi dua metode yaitu :
a.
Metode hisap (Exhaust system)
Pada metode ini mesin
angin utama diletakkan pada jalan keluar. Karena adanya hisapan mesin angin ini
tekanan udara di jalur udara keluar akan mengecil, sehingga udara dari luar
pada jalur udara masuk yang mempunyai tekanan lebih besar akan mengalir ke
dalam tambang. Setelah
melalui tempat–tempat kerja, maka udara akan menjadi kotor dan dihisap oleh
kipas angin untuk dialirkan keluar.
b.
Metode hembus (Forcing sytem)
Pada metode ini mesin
angin utama diletakan pada jalan udara masuk. Mesin angin ini akan
menekan udara ke dalam tambang, sehingga udara mengalir melalui jalan-jalan
udara di dalam tambang.
Yang
dimaksud peralatan ventilasi mekanis adalah semua jenis mesin penggerak yang
digunakan untuk memompa dan menekan udara segar agar mengalir ke dalam lubang
bawah tanah. Yang paling penting dan umum digunakan adalah fan atau mesin
angin.
Mesin
angin adalah pompa udara, yang menimbulkan adanya perbedaan tekanan antara
kedua sisinya, sehingga udara akan bergerak dari tempat yang tekanannya lebih
tinggi ke tempat yang lebih rendah. Pada proses menerus dapat dilihat bahwa mesin angin menerima udara pada tekanan
tertentu dan dikeluarkan dengan tekanan yang lebih besar. Jadi mesin angin
adalah perubah energi dari mekanis ke fluida, dengan memasok tekanan untuk
mengatasi kehilangan tekan (head losses) dalam aliran udara.
Pergerakan udara di tambang bawah
tanah dibangkitkan dan diatur oleh pembangkit tekanan yang disebut ventilator
atau mesin angin. Mesin angin yang memasok kebutuhan udara untuk seluruh
tambang dinamakan mesin angin utama (main
fan). Mesin angin yang digunakan untuk mempercepat aliran udara pada
percabangan atau suatu lokasi tertentu di dalam tambang, tetapi tidak menambah
volume total udara di dalam tambang disebut mesin angin penguat (booster fans), sedangkan mesin angin
yang digunakan pada lokasi kemajuan atau saluran udara tertutup (lubang buntu)
dinamakan mesin angin bantu (auxiliary
fans).
3. Ventilasi Bantu (Auxiliary Ventialtion)
Udara ventilasi yang disalurkan ke terowongan utama maupun ventilasi
permuka kerja penambangan biasanya dilakukan dengan membawa udara masuk (intake
air) secara langsung melalui jalan udara sepanjang penampang terowongan, namun
ada juga yang mengirimkan angin/udara yang dibangkitkan oleh kipas angin lokal,
air jet dan lain-lain, dengan menggunakan saluran udara (air duct) ke lokasi
yang tidak dapat dipenuhi oleh ventilasi utama, seperti pada lokasi terowongan
buntu (lokasi pembuatan lubang maju). Dilihat dari segi fasilitas peralatan,
ventilasi bantu dapat dibagi menjadi ventilasi saluran udara, brattice, dan
static air mover.
3.2.2. Kualitas Udara Tambang
Udara tambang meliputi campuran
antara udara atmosfir dengan emisi gas-gas dalam tambang serta bahan-bahan pengotornya
sehingga perlu dijaga kualitasnya. Standar udara yang bersih adalah udara yang
mempunyai komposisi sama atau mendekati dengan komposisi udara atmosfir pada
keadaan normal. Udara segar normal yang dialirkan pada ventilasi tambang
terdiri dari Nitrogen, Oksigen, Karbondioksida, Argon dan Gas-gas lain.
Tabel 3.1
Komposisi Udara Segar
Unsur
|
% Volume (%)
|
% Berat (%)
|
Nitrogen (N2)
Oksigen (O2)
Karbondioksida CO2)
Argon
(Ar), dll
|
78,09
20,95
0.03
0,93
|
75,53
23,14
0,046
1,284
|
Dalam perhitungan ventilasi tambang selalu dianggap
bahwa udara segar normal terdiri dari : Nitrogen = 79%, dan Oksigen = 21%. Disamping itu dianggap
bahwa udara segar akan selalu mengandung karbondioksida (CO2)
sebesar 0,03%. Demikian pula perlu diingat bahwa udara dalam ventilasi tambang
selalu mengandung uap air dan tidak pernah ada udara yang benar-benar kering.
Oleh karena itu akan selalu ada istilah kelembaban udara.
3.2.3. Pengendalian Kualitas Udara Tambang
Udara
tambang adalah campuran udara bebas (atmosfir) dengan bahan pengotornya
termasuk gas dan padatan sehingga perlu dilakukan pengendalian kualitas udara
tambang. Pengendalian terhadap kualitas udara tambang meliputi pengendalian
kandungan gas dalam udara, debu yang dihasilkan akibat proses penambangan,
temperatur dan kelembaban udara di dalam tambang sehingga udara di dalam
tambang tetap bersih dan segar.
Pengaturan temperatur dan kelembaban
udara tambang bertujuan untuk menghasilkan udara segar dan nyaman. Temperatur
udara tambang harus dipertahankan pada batas tertentu, sehingga manusia dapat
bekerja dengan efisiensi kerja yang tinggi. Temperatur udara sangat
mempengaruhi kenyamanan bagi para pekerja yang berada di dalam tambang, karena
udara tidak hanya untuk pernapasan tetapi juga untuk pendinginan panas tubuh.
Temperatur udara yang baik untuk kenyamanan bekerja adalah tidak kurang dari 18°C dan tidak melebihi 24°C.
Kelembaban udara tambang merupakan
banyaknya kandungan uap air yang ada di udara tambang yang biasanya dinyatakan
dengan ”relatif humidity (RH)”. Batas kelembaban relatif yang diperkenankan
untuk tambang bawah tanah adalah 65% - 95% dan nilai ini dapat ditentukan
secara grafis dengan menggunakan grafik psychrometrik.
3.2.4. Gas-Gas Pengotor Pada Udara Tambang
Terdapat beberapa macam gas pengotor
dalam udara tambang bawah tanah. Gas-gas ini berasal baik dari proses-proses
yang terjadi dalam tambang maupun berasal dari batuan ataupun bahan galiannya.
Gas-gas pengotor yang terdapat dalam
tambang bawah tanah tersebut, ada yang bersifat gas racun, yakni; gas yang bereaksi
dengan darah dan dapat menyebabkan kematian. Selain itu juga gas pengotor ini
menyebabkan bahaya, baik terhadap kehidupan manusia maupun dapat menyebabkan
peledakan. Gas – gas pengotor tersebut adalah :
a.
Karbondioksida (CO2)
Gas ini tidak berwarna dan tidak
berbau dan tidak mendukung nyala api dan bukan merupakan gas racun. Gas ini
lebih berat dari pada udara, karenanya selalu terdapat pada bagian bawah dari
suatu jalan udara. Dalam udara normal kandungan CO2 adalah 0,03%.
Dalam tambang bawah tanah sering terkumpul pada bagian bekas-bekas penambangan
terutama yang tidak terkena aliran ventilasi, juga pada dasar sumur-sumur tua. Sumber dari CO2
berasal dari hasil pembakaran, hasil peledakan atau dari lapisan batuan dan
dari hasil pernapasan manusia.
Pada kandungan CO2 = 0,5%
laju pernapasan manusia mulai meningkat, pada kandungan CO2 = 3%
laju pernapasan menjadi dua kali lipat dari keadaan normal, dan pada kandungan
CO2 = 5% laju pernapasan meningkat tiga kali lipat dan pada CO2
= 10% manusia hanya dapat bertahan beberapa menit. Kombinasi CO2 dan
udara biasa disebut dengan ‘blackdamp’.
b.
Metana (CH4)
Gas metana ini merupakan gas yang
selalu berada dalam tambang batubara dan sering merupakan sumber dari suatu
peledakan tambang. Campuran gas metana dengan udara disebut ‘Firedamp’.
Apabila kandungan metana dalam udara tambang bawah tanah mencapai 1% maka seluruh
hubungan mesin listrik harus dimatikan. Gas ini mempunyai berat jenis yang
lebih kecil dari pada udara dan karenanya selalu berada pada bagian atas dari
jalan udara. Metana merupakan gas yang
tidak beracun, tidak berwarna, tidak berbau dan tidak mempunyai rasa. Pada saat
proses pembatubaraan terjadi maka gas metana terbentuk bersama-sama dengan gas
karbondioksida. Gas metana ini akan tetap berada dalam lapisan batubara selama
tidak ada perubahan tekanan padanya.
Terbebasnya gas metana dari suatu lapisan
batubara dapat dinyatakan dalam suatu volume per satuan luas lapisan batubara,
tetapi dapat juga dinyatakan dalam satuan volume per satuan waktu. Terhadap
kandungan gas metana yang masih terperangkap dalam suatu lapisan batubara dapat dilakukan penyedotan dari gas metana
tersebut dengan pompa untuk dimanfaatkan. Proyek ini dikenal dengan nama ‘seam methane drainage’.
c.
Karbon Monoksida (CO)
Gas karbon monoksida merupakan gas
yang tidak berwarna, tidak berbau dan tidak ada rasa, dapat terbakar dan sangat
beracun. Gas ini banyak dihasilkan pada saat terjadi kebakaran pada tambang
bawah tanah dan menyebabkan tingkat kematian yang tinggi. Gas ini mempunyai
afinitas yang tinggi terhadap haemoglobin darah, sehingga sedikit saja
kandungan gas CO dalam udara akan segera
bersenyawa dengan butir-butir
haemoglobin (COHb) yang akan meracuni tubuh lewat darah. Afinitas CO
terhadap haemoglobin menurut penelitian (Forbes and Grove, 1954) mempunyai
kekuatan 300 kali lebih besar dari pada oksigen dengan haemoglobin. Gas CO
dihasilkan dari hasil pembakaran, operasi motor bakar, proses peledakan dan
oksidasi lapisan batubara.
Karbon monoksida merupakan gas
beracun yang sangat mematikan karena sifatnya yang kumulatif. Misalnya gas CO
pada kandungan 0,04% dalam udara apabila terhirup selama satu jam baru
memberikan sedikit perasaan tidak enak, namun dalam waktu 2 jam dapat
menyebabkan rasa pusing dan setelah 3
jam akan menyebabkan pingsan/ tidak sadarkan diri dan pada waktu lewat 5 jam
dapat menyebabkan kematian. Kandungan CO sering juga dinyatakan dalam ppm (part
per milion). Sumber CO yang sering menyebabkan kematian adalah gas buangan dari
mobil dan kadang-kadang juga gas pemanas air. Gas CO mempunyai berat jenis
0,9672 sehingga selalu terapung dalam udara.
d.
Hidrogen Sulfida (H2S)
Gas ini sering disebut juga ‘stinkdamp’ (gas busuk) karena baunya seperti bau telur busuk. Gas ini
tidak berwarna, merupkan gas racun dan
dapat meledak, merupakan hasil dekomposisi dari senyawa belerang. Gas ini
mempunyai berat jenis yang sedikit lebih berat dari udara. Merupakan gas yang
sangat beracun dengan ambang batas (TLV-TWA)
sebesar 10 ppm pada waktu selama 8 jam terdedah (exposed) dan untuk waktu singkat (TLV-STEL) adalah 15 ppm. Walaupun gas H2S mempunyai bau
yang sangat jelas, namun kepekaan terhadap bau ini akan dapat rusak akibat
reaksi gas H2S terhadap saraf penciuman. Pada kandungan H2S = 0,01 % untuk
selama waktu 15 menit, maka kepekaan manusia akan bau ini sudah akan hilang.
e.
Sulfur Dioksida (SO2)
Sulfur dioksida merupakan gas yang
tidak berwarna dan tidak bisa terbakar. Merupakan gas racun yag terjadi apabila
ada senyawa belerang yang terbakar. Lebih berat dari pada udara, dan akan
sangat membantu pada mata, hidung dan tenggorokan. Harga ambang batas
ditetapkan pada keadaan gas = 2 ppm (TLV-TWA)
atau pada waktu terdedah yang singkat (TLV-STEL)
= 5 ppm.
f.
Nitrogen Oksida (NOX)
Gas nitrogen oksida sebenarnya merupakan gas
yang ‘inert’, namun pada keadaan tekanan tertentu dapat teroksidasi dan dapat
menghasilkan gas yang sangat beracun. Terbentuknya dalam tambang bawah
tanah sebagai hasil peledakan dan gas buang dari motor bakar. NO2
merupakan gas yang lebih sering terdapat dalam tambang dan merupakan gas racun.
Harga ambang batas ditetapkan 5 ppm,
baik untuk waktu terdedah singkat maupun untuk waktu 8 jam kerja. Oksida nitrogen yang merupakan
gas racun ini akan bersenyawa dengan kandungan air dalam udara membentuk asam
nitrat, yang dapat merusak paru-paru apabila terhirup oleh manusia.
g.
Gas Pengotor Lain
Gas yang dapat dikelompokkan dalam gas
pengotor lain adalah gas Hidrogen yang dapat berasal dari proses pengisian aki
(battery) dan gas-gas yang biasa terdapat pada tambang bahan galian radioaktif
seperti gas radon.
Debu merupakan pengotor udara tambang yang juga berbahaya
bila konsentrasinya cukup tinggi, karena dapat mengganggu lingkungan kerja dan
merusak kesehatan. Secara garis besar, sumber debu pada tambang bawah tanah
berasal dari aktivitas penambangan yang meliputi operasi pemboran, peledakan,
pemuatan, dan pengangkutan bijih atau batubara. Partikel debu dapat digolongkan
berdasarkan kandungan material solid dan ukuran diameter rata-rata partikelnya.
3.3.
Kebakaran dan
Ledakan Tambang Bawah Tanah
Batubara
terbentuk dari tumbuhan purba yang berubah bentuk akibat proses fisika dan
kimia yang berlangsung selama jutaan tahun, dapat berjenis lignit,
sub-bituminus, bituminus, atau antrasit, tergantung dari tingkat pembatubaraan
yang dialami. Konsentrasi unsur karbon akan semakin banyak seiring dengan
tingkat pembatubaraan yang semakin berlanjut. Adapun gas–gas yang terbentuk
yaitu metana, karbon dioksida serta karbon monoksida, dan gas-gas lain yang menyertainya akan masuk dan terperangkap
di celah-celah batuan yang ada di sekitar lapisan batubara.
Secara
teori, jumlah gas metana yang
terkumpul pada proses terbentuknya batubara bervolume 1 ton adalah 300m3.
Kondisi terperangkapnya gas ini akan terus berlangsung sampai ketika lapisan
batubara atau batuan di sekitarnya tersebut terbuka akibat pengaruh alam
seperti longsoran, atau karena penggalian (penambangan). Gas-gas
yang muncul di tambang dalam (underground) terbagi menjadi gas berbahaya
(hazardous gas) dan gas mudah nyala (combustible gas). Gas berbahaya adalah gas yang dapat mempengaruhi
kesehatan bahkan sampai menyebabkan kondisi yang fatal pada seseorang,
sedangkan gas mudah nyala adalah gas yang berpotensi menyebabkan kebakaran dan ledakan di dalam tambang.
Pada
tambang dalam, gas berbahaya yang sering dijumpai adalah karbon monoksida (CO),
sedangkan yang dapat muncul tapi jarang ditemui adalah hidrogen sulfida (H2S),
sulfur dioksida (SO2), dan nitrogen dioksida (NO2). CO adalah gas tak berwarna, tak
berasa, tak berbau,
dan memiliki berat jenis sebesar 0.967. Pada udara biasa, konsentrasinya adalah
0 sampai dengan beberapa ppm, dan menyebar secara merata di udara. CO timbul
akibat pembakaran tak sempurna, ledakan gas dan debu, swabakar (spontaneous
combustion), kebakaran dalam tambang, peledakan (blasting), pembakaran internal
pada mesin, dan lain-lain.
Gas ini sangat
beracun karena kekuatan ikatan CO terhadap hemoglobin adalah 240 – 300 kali dibandingkan ikatan
oksigen dengan hemoglobin. Selain beracun, gas ini sebenarnya juga memiliki
sifat meledak, dengan kadar ambang ledakan adalah 13-72%. Untuk
gas mudah nyala pada tambang batubara, sebagian besar adalah gas metana (CH4).
3.3.1.
Gas Metana (CH4)
Metana adalah
gas ringan dengan berat jenis 0.558, tidak berwarna, dan tidak berbau. Gas ini
muncul secara alami di tambang batubara bawah tanah sebagai akibat terbukanya
lapisan batubara dan batuan di sekitarnya oleh kegiatan penambangan. Dari segi
keselamatan tambang, keberadaan metana harus selalu dikontrol terkait dengan
sifatnya yang dapat meledak. Gas metana dapat terbakar dan meledak ketika
kadarnya di udara sekitar 5 – 15%, dengan ledakan paling hebat pada saat
konsentrasinya 9.5% dan ketika terdapat sumber api yang memicunya.
Ketika
meledak di udara, gas metana akan mengalami pembakaran sempurna pada saat
konsentrasinya antara 5% sampai dengan 9.5%, menghasilkan gas karbon dioksida
dan uap air. Jika volume udara pada saat itu konstan, maka suhu udara akan
mencapai 2200⁰C
dengan tekanan 9 atm. Sebaliknya, bila tekanannya konstan maka suhunya hanya
akan mencapai 1800⁰C
saja. Sedangkan angin ledakan yang timbul, biasanya berkecepatan sekitar
300m/detik. Dari keadaan ini dapatlah dipahami bila para korban ledakan gas
metana biasanya tubuhnya akan hangus terbakar.
Jika
ledakan terjadi ketika kadar gas metana lebih dari 9.5%, akan berlangsung pula
pembakaran tidak sempurna yang menghasilkan karbon monoksida (CO), yang akan
menyebar ke seluruh lorong penambangan mengikuti arah angin ventilasi. Bencana
seperti ini akan berdampak lebih buruk bila dibandingkan dengan sekedar ledakan
gas saja, karena munculnya bencana susulan berupa keracunan gas CO. Peristiwa
ini pernah terjadi di tambang batubara Mitsui Miike di Jepang pada awal
November 1963, dengan korban mencapai 458 orang. Dari jumlah itu, korban
langsung akibat ledakan itu hanya beberapa puluh saja, sedangkan sisanya adalah
akibat keracunan gas CO. Selain itu, tidak sedikit pula pekerja yang mengalami
kerusakan jaringan otak sehingga mengalami gangguan fungsi saraf seumur
hidupnya.
3.3.2. Debu Batubara
Debu
batubara adalah material batubara yang terbentuk bubuk (powder),yang berasal
dari hancuran batubara ketika terjadi pemrosesannya (breaking, blending, transporting, and weathering).
Debu batubara yang dapat meledak adalah apabila debu itu terambangkan di udara
sekitarnya.
Debu
batubara dihasilkan dari kegiatan penambangan itu sendiri. Pemisahan (breaking)
secara kering dengan cara peledakan penggaruan dapat menimbulkan debu yang
banyak. Debu batubara juga dapat terbentuk pada proses penggilingan dan ketika
pencampurannya serta pengangkutan. Disamping itu proses pelapukan alami
batubara juga dapat menjadi sumber terbentuknya debu batubara tersebut.
Seperti
telah dijelaskan di atas, bahwa debu batubara akan terbentuk dalam jumlah yang
cukup banyak kalau operasi penambangan dilakukan dalam proses yang kering.
Sebaliknya jika dilakukan penambangan dengan sistem penyiraman air yang cukup,
debu yang terbentuk akan terendapkan pada lantai kerja.
Peristiwa
ledakan debu batubara pada tambang batubara bawah tanah dapat terjadi jika ada
tiga syarat berikut terpenuhi, yakni:
1.
Ada debu batubara yang beterbangan (awan debu
batubara).
2.
Ada sambaran bunga api.
3.
Ada oksigen.
Konsentrasi
debu batubara yang dapat meledak tergantung:
1.
Kandungan zat terbang (volatile matter).
2.
Ukuran partikel (particle size).
3.
Kandungan air (water content).
Debu
batubara ukuran partikelnya antara 20 – 40 mesh, tidak dapat meledak dengan sendirinya,
debu batubara dengan partikel sampai 200 mesh akan sangat mudah meledak. Bahaya ledakan debu batubara akan
semakin kecil jika padanya terdapat kandungan abu yang cukup banyak, (abu
melekat ditambah dengan abu dari debu batu) dalam jumlah lebih kurang 50%
pencegah kebakaran/ledakan.
Biasanya
untuk mencegah terjadinya ledakan debu batubara dapat ditambahkan debu batuan
sampai mencapai kadar abunya lebih dari 75%. Debu batubara yang mengandung air yang banyak tidak
akan dapat meledak atau terbakar. Air, disamping penyerap sulutan api
(ignition), juga berfungsi sebagai penyerap panas. Kadar air sampai 30% dapat
mencegah terjadinya ledakan debu batubara itu. Debu batubara segar lebih berbahaya dibandingkan
dengan debu batubara yang sudah lama ada dalam udara terbuka. Debu batubara
segar akan lebih mudah meledak karena adanya gas methan yang masih terperangkap
pada butiran debu batubara tersebut.
Proses
Ledakan dan Penyebarannya :
1.
Sifat mekanik ledakan.
Ledakan debu batubara
menimbulkan tekanan udara yang sangat tinggi disertai dengan nyala api. Setelah
itu akan diikuti dengan kepulan asap yang berwarna hitam. Ledakan merambat pada
lobang turbulensi udara akan semakin dahsyat dan dapat menimbulkan kerusakan
yang fatal.
2.
Tekanan dan kecepatan ledakan
Tekanan udara yang
terjadi akan bervariasi tergantung pada karakteristik dan jumlah debu
batubaranya. Tekanan itu biasanya ada antara 2 – 4 kg/cm2. Pada
ledakan yang sangat kuat (high explosive), kecepatan ledakan dapat mencapai
1000 m/detik (jauh lebih tinggi dari kecepatan suara).
3.
Kecepatan rambatan sulutan (deflagration).
Kecepatan rambatan
sulutan api akan semakin tinggi menuju ke lubang udara keluar,dimana pada titik ini
kandungan gas methan dan debu batubara sangat rendah.
4.
Temperatur ledakan.
Ledakan debu batubara
akan menyebabkan naiknya temperatur pada area ledakan, antara 1500°C – 1900°C. Tetapi temperatur
pada kasus ledakan sedang dan rendah hanya akan berkisar antara 1200°C – 1300°C. Pada temperature ini terjadi pembakaran tidak
sempurna dan hilangnya panas oleh serapan daerah sekitar ledakan.
5.
Daerah sulutan.
Biasanya bila daerah
yang dapat tersulut mencapai 6 – 7 kali luas daerah asalnya, selama daerah itu
mengandung gas methan atau debu batubara.
6.
Reaksi ledakan.
Ledakan batubara akan
menyebabkan udara di sekitarnya menjadi dingin dan kadar oksigennya berkurang
drastis. Setelah itu udara akan kembali mengalir dan mengisi ruang rendah
oksigen tadi (udara balik). Jika di sana masih tersisa awan debu batubara akan
terjadi ledakan ulangan.
7.
Jalaran ledakan.
Bila akumulasi debu
batubara yang tertahan dalam terowongan tambang bawah tanah mengalami suatu
getaran hebat, yang diakibatkan oleh berbagai hal, seperti gerakan roda-roda
mesin, tiupan angin dari kompresor dan sejenisnya, sehingga debu batubara itu
terangkat ke udara (beterbangan) dan kemudian membentuk awan debu batubara
dalam kondisi batas ledak (explosive limit) dan ketika itu ada sulutan api,
maka akan terjadi ledakan yang diiringi oleh kebakaran. Jika pada proses
pertama itu terjadi ledakan disertai kebakaran, sisa debu batubara yang masih
tertambat di atas lantai atau pada langit-langit dan dinding terowongan akan
tertiup dan terangkat pula ke udara, lalu debu itu pun akan meledak.
Demikianlah seterusnya, bahwa dalam tambang itu akan terjadi ledakan beruntun
sampai habis semua debu batubara terbakar. Ledakan itu akan menyambar ke mana-mana,
sehingga dapat menjalari seluruh lokasi dalam tambang itu dan menimbulkan
kerusakan yang sangat dahsyat.
IV.
PEMBAHASAN
Pengertian
batubara Batu bara
adalah sisa tumbuhan dari jaman prasejarah yang berubah bentuk yang awalnya berakumulasi dirawa
dan lahan gambut. Penimbunan
lanau dan sedimen lainnya, bersama dengan
pergeseran kerak bumi (dikenal sebagai pergeseran
tektonik) mengubur rawa dan gambut yang
seringkali sampai ke kedalaman yang sangat dalam. Dengan penimbunan tersebut, material tumbuhan tersebut terkena suhu
dan tekanan yang tinggi. Suhu
dan tekanan yang tinggi tersebut menyebabkan
tumbuhan tersebut mengalami proses perubahan
fisika dan kimiawi dan mengubah tumbuhan
tersebut menjadi gambut dan kemudian batubara.
1.
2.
3.
4.
4.1.
Teknik/Sistem
Penambangan Batubara di Sawahlunto
Pemanfaatan secara ekonomis
potensi cadangan batubara disebut dengan penambangan batubara, yang terbagi
menjadi penambangan terbuka (surface mining atau open cut
mining) dan penambangan bawah tanah atau tambang dalam (underground
mining).
Bila terdapat singkapan batubara
(outcrop) di permukaan tanah pada suatu lahan yang akan ditambang, maka
metode penambangan yang akan dilakukan, yaitu metode terbuka atau bawah tanah,
ditetapkan berdasarkan perhitungan tertentu yang disebut dengan nisbah
pengupasan (Stripping Ratio). Nisbah ini merupakan indikator tingkat
ekonomis suatu kegiatan penambangan.
Pada perhitungan SR di atas,
biaya tambang dalam adalah biaya per batubara bersih (clean coal) dalam
ton, sedangkan untuk biaya tambang terbuka adalah biaya per batubara bersih
dalam ton dan biaya reklamasi, tapi
tidak termasuk biaya pengupasan tanah penutup (overburden). Sedangkan
biaya pengupasan adalah biaya pengupasan tanah penutup, dalam m3.
Teknik/sistem penambangan batubara yang dipakai di
Sawahlunto adalah sistem tambang bawah tanah dengan metode long wall, yaitu suatu sistem dengan proses
penambangan dan pengangkutan bergerak maju dan meninggalkan runtuhan lapisan atap di atap di belakang penyangga.
Pemilihan metode
penambangan batubara sangat tergantung pada : ketebalan lapisan batubara, kemiringan lapisan batubara, sifat atap dan lantai, hubungan multi seam, ada tidaknya sisipan (parting), kondisi geologi
(sesar/patahan, kekar, dll), keadaan air dan gas, kedalaman lapisan batubara dan hubunganya dengan permukaan bumi, kekerasan batubara dan kondisi lain (keterbatasan
penambangan di bawah sungai atau dasar laut, dll).
Gambar 4.1. Kedalaman, ketebalan, kemiringan
batubara dan overburden
Sebagai contoh, bila dari studi kelayakan (feasibility study)
ternyata diketahui bahwa biaya tambang dalam pada suatu lahan yang akan
ditambang adalah US $150, biaya tambang terbuka adalah US $50, dan biaya pengupasan
adalah US $10, maka nisbah pengupasan atau SR adalah 10. Dari gambar 4.2 di atas terlihat
bahwa sampai dengan posisi tertentu yang merupakan batas SR, penambangan
terbuka lebih menguntungkan untuk dilakukan. Sedangkan lewat batas tersebut,
penambangan akan lebih ekonomis bila dilakukan dengan menggunakan metode
tambang dalam.
4.1.1. Sistem Penambangan Batubara Dengan Cara Tambang
Bawah Tanah
Pada penambangan batubara dengan metode
penambangan dalam yang penting adalah bagaimana mempertahankan lubang buka seaman mungkin agar terhindar
dari kemungkinan keruntuhan atap batuan, ambruknya dinding lubang (rib
spalling) dan penggelembungan lantai lapisan batubara (floor heave).
Kejadian tersebut diatas disebabkan oleh
terlepasnya energi yang tersimpan secara alamiah dalam endapan batubara. Energi
yang terpendam tersebut merupakan akibat terjadinya perubahan atau deformasi
bentuk endapan batubara selama berlangsungnya pembentukan deposit tersebut.
Pelepasan energi tersebut disebabkan oleh adanya perubahan keseimbangan
tegangan yang terdapat pada massa batuan akibat dilakukannya kegiatan pembuatan
lubang-lubang bukaan tambang. Disamping itu kegagalan yang disebabkan batuan dan batubara itu tidak
mempunyai daya penyanggaan di samping faktor-faktor alami dari keadaan geologi endapan batubara
tersebut.
Penambangan batubara secara tambang dalam
kenyataannya sangat ditentukan oleh cara mengusahakan
agar lubang bukaan dapat dipertahankan selama mungkin pada saat berlangsungnya penambangan batubara dengan
biaya rendah atau seekonomis mungkin. Untuk mencapai keinginan tersebut maka pada
pembuatan lubang bukaan selalu diusahankan agar kemampuan penyangga dari atap
lapisan, kekuatan lantai lapisan batubara, kemampuan daya dukung pilar
penyangga. Apabila
cara manfaat sifat alamiah tersebut sulit untuk dicapai, maka dibuat penyanggan buatan telah diciptakan oleh ahli
tambang.
Gambar 4.3. Metode
penambangan
Tabel 4.1. Sistem/Type
Pembukaan Lorong
(Portal/Box
Cut/Kanopi/Pintu Masuk)
4.1.2. Penambangan Batubara Dengan Metode Long Wall
Ada dua cara penambangan dengan
menggunakan metode Long Wall yaitu: cara maju (Advancing) dan cara mundur (Retreating). Ciri-ciri metode penambangan batubara sistem lorong panjang :
1.
Recoverynya tinggi, karena menambang sebagian besar
batubara.
2. Permuka
kerja dapat dipusatkan, karena dapat berproduksi besar di satu permuka kerja.
3. Pada
umumnya, apabila kemiringan landai, mekanisasi penambangan, transportasi dan
penyanggaan menjadi mudah, sehingga dapat meningkatkan efisiensi penambangan
batubara.
4.
Karena dapat memusatkan permuka kerja, panjang
terowongan yang dirawat terhadap jumlah produksi batubara menjadi pendek.
5.
Menguntungkan dari segi keamanan, karena ventilasinya
mudah dan swabakar yang timbul juga sedikit.
6. Karena
dapat memanfaatkan tekanan bumi, pemotongan batubara menjadi mudah.
7.
Apabila terjadi hal-hal seperti keruntuhan permuka
kerja dan kerusakan mesin, penurunan produksi batubaranya besar.
Gambar 4.4. Metode Long Wall
Gambar 4.5. Skema
Long Wall maju
Berdasarkan skema penggalian di atas,
maka seiring dengan majunya kedua lorong serta lapangan penggalian, terlihat
bahwa lokasi yang batubaranya telah diambil akan meninggalkan ruang yang terisi
dengan batuan atap yang telah diambrukkan. Bekas lapangan penggalian itu
disebut dengan gob. Pada metode ini, pekerjaan penting yang harus
dilakukan adalah menjaga agar main gate dan tail gate tetap
tersekat dengan sempurna terhadap gob sehingga sistem
peranginan atau ventilasi dapat berjalan dengan baik.
Kelebihan metode ini adalah produksi
dapat segera dilakukan bersamaan dengan penggalian lorong main gate dan tail
gate. Namun seiring dengan semakin majunya penggalian, maintenance kedua
lorong menjadi semakin sulit dilakukan karena tekanan lingkungan yang bertambah
akibat keberadaan gob yang meluas. Selain membawa risiko ambrukan, tekanan
batuan tersebut juga akan menyebabkan dinding lorong yang merupakan sekat
antara kedua lorong dengan gob menjadi mudah retak dan rusak
sehingga angin dapat mengalir masuk ke dalam gob. Karena di gob juga
terdapat banyak serpihan atau bongkahan batubara yang tersisa, maka masuknya
angin ke lokasi ini secara otomatis akan meningkatkan potensi swabakar.
Disamping itu, kelemahan metode LW maju yang lain adalah rentan terhadap
fenomena geologi yang tidak menguntungkan yang muncul di dalam tambang,
misalnya patahan atau batubara menghilang (wash out). Tidak sedikit
penggalian LW maju terpaksa harus terhenti dan pindah ke lokasi lain
dikarenakan faktor geologi tadi.
Agar penambangan menjadi lebih efektif,
aman, dan ekonomis, maka pada Long Wall diterapkan metode
mundur atau retreating. Pada Long Wall mundur, main
gate dan tail gate dibuat terlebih dulu pada blok
lapisan batubara yang ingin ditambang, dengan panjang lorong dan lebar area
penggalian ditentukan berdasarkan kondisi geologi serta teknik penambangan yang
sesuai di lokasi tersebut. Gambar 4.6.
di bawah ini menunjukkan pekerjaan persiapan lapangan
penggalian, sedangkan Gambar 4.7. menampilkan lapangan penggalian yang telah siap untuk dilakukan Long Wall mundur.
Gambar 4.7. Lapangan yang telah siap untul Long
Wall Mundur
Ketika penambangan secara LW mundur
telah dimulai, maka keadaannya dapat digambarkan seperti pada gambar 4.8. di bawah ini.
Gambar 4.8. Kondisi Penambangan Long Wall Mundur
Penambangan dapat dilakukan dengan
menggunakan kombinasi penyangga besi (steel prop) dan link bar untuk
menopang atap lapangan, serta coal pick untuk ekstraksi
batubara. Sedangkan kereta tambang (mine car) digunakan sebagai alat
transportasi batubara.
Gambar 4.9. LW mundur menggunakan steel prop & link bar
Gambar 4.10. Ekstraksi batubara menggunakan coal pick
Untuk lebih meningkatkan efisiensi
penambangan, mekanisasi tambang dalam secara menyeluruh atau sebagian (semi
mekanisasi) dapat dilakukan dengan terlebih dulu memperhatikan kondisi geologi
dan perencanaan penambangan secara jangka panjang. Mekanisasi pada lapangan penggalian
misalnya melalui kombinasi penggunaan drum cutter dan
penyangga berjalan (self-advancing support), sedangkan pada fasilitas
transportasi batubara misalnya dengan menggunakan belt conveyor.
Gambar 4.11. Ekstraksi batubara menggunakan drum cutter
Gambar 4.12. Self-advancing support
Apabila kegiatan penggalian batubara di
suatu blok sudah selesai, maka safety pillar akan disisakan
untuk menjamin keamanan tambang dari bahaya ambrukan. Pada saat itu, tail
gate dan main gate harus disekat (sealing) sempurna
untuk mencegah masuknya aliran udara segar sehingga proses oksidasi batubara
pada gob terhenti. Di dalam lokasi yang telah disekat, kadar
gas metana akan terus bertambah, sedangkan oksigen akan menurun.
Gambar 4.13. Akhir penggalian LW mundur
Dibandingkan dengan LW maju yang
dapat segera berproduksi, diperlukan waktu yang lebih lama dan biaya material
yang mencukupi pada LW mundur untuk persiapan lapangan penggaliannya. Meskipun
demikian, dengan maintenance lorong dan pengaturan sistem ventilasi yang
relatif mudah menyebabkan LW mundur lebih aman dari risiko ambrukan dan
swabakar. Selain itu, kondisi geologi yang akan dihadapi saat penggalian di
lapangan nantinya dapat diprediksi lebih dulu ketika dilakukan penggalian
lorong dalam rangka persiapan lapangan. Dengan demikian, langkah antisipasi
untuk mengatasi fenomena geologi yang tidak menguntungkan yang mungkin timbul
pada saat penambangan dapat diperhitungkan dengan baik.
4.2.
Ventilasi
Penambangan Batubara Bawah Tanah
Batubara terbentuk dari tumbuhan purba yang berubah
bentuk akibat proses fisika dan kimia yang berlangsung selama jutaan tahun.
Karena berasal dari material organik yaitu selulosa, sudah tentu batubara
tergolong mineral organik pula. Reaksi pembentukan batubara adalah sebagai berikut:
5(C6H10O5) —> C20H22O4 +
3CH4 + 8H2O + 6CO2 + CO
C20H22O4 adalah
batubara, dapat berjenis lignit, sub-bituminus, bituminus, atau antrasit,
tergantung dari tingkat pembatubaraan yang dialami. Konsentrasi unsur C akan
semakin tinggi seiring dengan tingkat pembatubaraan yang semakin berlanjut.
Sedangkan gas-gas yang terbentuk yaitu metan, karbon dioksida serta karbon monoksida, dan gas-gas lain yang menyertainya akan
masuk dan terperangkap di celah-celah batuan yang ada di sekitar lapisan
batubara.
Secara teorisasi, jumlah gas metan yang terkumpul pada
proses terbentuknya batubara bervolume satu ton adalah 300m3.
Kondisi terperangkapnya gas ini akan terus berlangsung ketika lapisan batubara
atau batuan di sekitarnya tersebut terbuka akibat pengaruh alam seperti
longsoran atau karena penggalian (penambangan).
Gas-gas yang muncul di tambang dalam (underground)
terbagi menjadi gas berbahaya (hazardous gas) dan gas mudah nyala (combustible
gas). Gas berbahaya adalah gas yang dapat mempengaruhi kesehatan yang
dapat menyebabkan kondisi fatal pada seseorang, sedangkan gas mudah nyala
adalah gas yang berpotensi menyebabkan kebakaran dan ledakan di dalam tambang.
Pada tambang dalam, gas berbahaya yang sering ditemukan
adalah karbon monoksida (CO), sedangkan yang dapat muncul tapi jarang ditemui
adalah hidrogen sulfida (H2S), sulfur dioksida (SO2), dan
nitrogen dioksida (NO2).
CO adalah gas tak berwarna, tak berasa, tak berbau, dan
memiliki berat jenis sebesar 0,967. Pada udara biasa, konsentrasinya adalah 0
sampai dengan beberapa ppm, dan menyebar secara merata di udara. CO timbul
akibat pembakaran tak sempurna, ledakan gas dan debu, swabakar, kebakaran dalam
tambang, peledakan (blasting), pembakaran internal pada mesin, dll.
Gas ini sangat beracun karena kekuatan ikatan CO terhadap hemoglobin adalah
240-300 kali dibandingkan ikatan oksigen dengan hemoglobin. Selain beracun, gas
ini sebenarnya juga memiliki sifat meledak, dengan kadar ambang ledakan adalah
13-72%.
Untuk gas mudah nyala pada tambang batubara, sebagian
besar adalah gas metan (CH4). Metan adalah gas ringan dengan berat
jenis 0,558, tidak berwarna, dan tidak berbau. Gas ini muncul secara alami di
tambang batubara bawah tanah sebagai akibat terbukanya lapisan batubara dan
batuan di sekitarnya oleh kegiatan penambangan. Dari segi keselamatan tambang,
keberadaan metan harus selalu dikontrol terkait dengan sifatnya yang dapat
meledak. Gas metan dapat terbakar dan meledak ketika kadarnya di udara sekitar
5-15% dengan ledakan paling hebat pada saat konsentrasinya 9,5% pada saat
terdapat sumber api yang memicunya.
Untuk menangani permasalahan gas yang muncul di tambang
dalam, perencanaan sistem ventilasi yang baik merupakan hal mutlak yang harus
dilakukan. Selain untuk mengencerkan dan menghilangkan gas-gas yang muncul dari
dalam tambang, tujuan lain dari ventilasi adalah untuk menyediakan udara segar
yang cukup bagi para karyawan tambang, dan untuk memperbaiki kondisi lingkungan
kerja yang panas di dalam tambang
akibat panas bumi, panas oksidasi, dll.
Dengan memperhatikan ketiga tujuan di
atas, maka volume ventilasi (jumlah angin) yang cukup harus diperhitungkan
dalam perencanaan ventilasi. Secara ideal, jumlah angin yang cukup tersebut
hendaknya terbagi secara merata untuk lapangan penggalian (working face),
lokasi penggalian maju (excavation), serta ruangan mesin dan listrik.
Pada sistem pernapasan
manusia, oksigen dihisap dan karbon dioksida dibebaskan. Jumlah oksigen yang
diperlukan akan semakin meningkat sesuai dengan aktivitas fisiknya dan dapat
dihitung pula kuantitas udara segar minimum yang dibutuhkan seseorang untuk
proses pernapasan berdasarkan kandungan oksigen minimum yang diperkenankan dan
kandungan karbon dioksida maksimum yang masih diperbolehkan.
Perlu juga dalam hal ini
didefinisikan arti angka bagi atau nisbah pernapasan (respiratori quotient) yang didefiniskan sebagai nisbah antara
jumlah karbondioksida yang dihembuskan terhadap jumlah oksigen yang dihirup
pada suatu proses pernapasan. Pada manusia yang bekerja keras, angka bagi pernapasan
ini (respiratori quotient) sama
dengan satu, yang berarti bahwa jumlah CO2 yang dihembuskan sama
dengan jumlah O2 yang dihirup pada pernapasannya.
Tabel berikut ini memberikan gambaran mengenai keperluan oksigen pada pernapasan
pada tiga jenis kegiatan manusia secara umum.
Tabel 4.2 Kebutuhan Udara Pernapasan (Hartman, 1982)
Kegiatan kerja
|
Laju Pernapasan
Per menit
|
Udara terhirup per menit dalam in3/menit
(10-4 m3/detik)
|
Oksigen ter konsumsi cfm (10-5
m3/detik)
|
Angka bagi pernapasan
(respiratori quotient)
|
Istirahat
|
12 – 18
|
300-800
(0,82-2,18)
|
0,01 (0,47)
|
0,75
|
Kerja Moderat
|
30
|
2800-3600 (7,64-9,83)
|
0,07 (3,3)
|
0,9
|
Kerja keras
|
40
|
6000 (16,4)
|
0,10 (4,7)
|
1,0
|
Ada dua cara perhitungan untuk menentukan
jumlah udara yang diperlukan perorang untuk pernapasan yakni :
a.
Berdasarkan kebutuhan O2 minimum, yaitu
19,5%.
Jumlah udara yang
dibutuhkan = Q cfm
Pada pernapasan, jumlah oksigen akan
berkurang sebanyak 0,1 cfm ; sehingga
akan dihasilkan persamaan untuk jumlah oksigen sebagai berikut;
0,21 Q -
0,1 = 0,195 Q
|
Kandungan Oksigen) – (Jumlah Oksigen pada pernapasan) =
(Kandungan Oksigen minimum untuk udara pernapasan ).
Q
= (0,1/ (0,21 – 0,195)) =
6,7 cfm (=3,2 x 10-3 m3/detik)
|
b.
Berdasarkan kandungan CO2 maksimum,
yaitu 0,5%.
Dengan harga angka bagi pernapasan =
1,0 ; maka jumlah CO2 pada pernapasan akan bertambah sebanyak 1,0 x
0,1 = 0,1 cfm.
Dengan demikian akan
didapat persamaan :
0,0003 Q +
0,1 = 0,005 Q
|
Kandungan
CO2 dalam udara = (Kandungan CO2 maksimum dalam udara
normal) –
(Jumlah CO2 hasil pernapasan)
Q = (0,1/(0,005 –
0,0003)) = 21,3 cfm (= 0,01 m3/detik)
|
Dari kedua cara perhitungan tadi,
yaitu atas kandungan oksigen minimum 19,5% dalam udara pernapasan dan kandungan
maksimum karbon dioksida sebesar 0,5% dalam udara untuk pernapasan, diperoleh
angka kebutuhan udara segar bagi pernapasan seseorang sebesar 6,7 cfm dan 21,3
cfm. Dalam hal ini tentunya angka 21,3 cfm yang digunakan sebagai angka kebutuhan
seseorang untuk pernapasan. Dalam merancang kebutuhan udara untuk ventilasi
tambang digunakan angka kurang lebih sepuluh kali lebih besar, yaitu 200 cfm
per orang (= 0,1 m3/detik
per orang).
4.2.1. Pengukuran Ventilasi
Pengukuran
ventilasi dilakukan untuk memeriksa apakah pada setiap lokasi pada tambang
bawah tanah telah dilakukan ventilasi udara yang cukup sehingga dapat diketahui
kesalahan ventilasi atau untuk mendapatkan bahan yang diperlukan untuk
perencanaan ventilasi atau perbaikan ventilasi. Hal yang harus diukur tersebut
antara lain temperatur udara, kelembapan, tekanan udara, kecepatan udara,
jumlah udara, penurunan tekanan, tekanan kipas angin, kadar gas dan jumlah
debu.
4.2.2. Pengukuran Kuantitas Udara
Kuantitas udara adalah
jumlah udara yang melalui ruang dengan kecepatan dan luas tertentu diukur
setiap satuan waktu. Sedangkan kuantitas udara tambang yang dimaksud adalah
jumlah udara masuk ke dalam tambang dalam waktu tertentu. Kuantitas udara yang melalui jalur udara tidak ditentukan secara
langsung, melainkan berdasarkan pengukuran kecepatan aliran udara dan luas
penampang jalur udara tambang. Tujuan dari perhitungan kuantitas udara tambang
ini adalah untuk mengetahui besarnya kebutuhan udara dan pembagiannya ke setiap
jalur yang membutuhkan di dalam tambang. Setelah diketahui kecepatan aliran
udara dan luas penampang jalur udara pada titik pengukuran, maka kuantitas
aliran udara dapat dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai berikut :
Q = V x A
dimana :
Q = Kuantitas aliran udara, m3 / detik
V = Kecepatan aliran udara, m / detik
A = Luas penampang jalur udara, m2
|
Untuk menentukan jumlah
udara minimum yang dibutuhkan ditempat kerja pada suatu tambang bawah tanah
didasarkan :
a.
Kebutuhan pernapasan setiap orang sebesar 0,01 m3
/ detik. Jumlah udara minimum yang diperkenankan untuk tambang mengandung
gas-gas berbahaya sebesar 0,1 m3/detik perorang.
b.
Kecepatan udara minimum untuk mengendalikan
kualitas udara 0,3 m / detik. Pada tambang yang banyak mengeluarkan
gas-gas berbahaya kecepatan minimum pada permuka kerja 0,76-1,52 m /
detik.
c.
Kecepatan udara minimum untuk mengendalikan
temperatur efektif dan kelembaban sebesar 0,5 – 2,5 m / detik.
d.
Kecepatan udara minimum pada front kerja pembuatan
lubang bukaan 0,3 m/ detik.
e.
Kebutuhan udara untuk melarutkan atau pengenceran
gas dan debu dalam tambang.
4.2.3. Pengukuran
Kecepatan Aliran Udara
Kecepatan
aliran udara didalam tambang merupakan salah satu parameter dalam perhitungan
kuantitas udara. Dalam pengukuran ini menggunakan anemometer yang merupakan salah satu alat untuk pengukuran
kecepatan aliran udara dalam sistem ventilasi tambang. Untuk mengukur kecepatan
aliran udara dalam tambang teknik pengukuran
menggunakan metode Continuous
traversing.
Metode
ini merupakan metode yang paling umum digunakan untuk mengukur kecepatan aliran
udara. Pengukuran dilakukan secara konsisten pada arah horisontal atau vertikal
dari atas atau bawah pada ujung yang satu ke ujung yang lain pada penampang
lubang bukaan dengan jalur yang teratur sehingga seluruh penampang lubang
bukaan terukur.
Gambar 4.14. Alat-alat pengukur parameter
ventilasi
4.2.4. Pengukuran
Luas Penampang jalur udara, Temperatur dan Tekanan Udara
Selain
mengukur kecepatan udara untuk menentukan kuantitas aliran udara dilakukan
pengukuran terhadap luas penampang jalur udara pada setiap titik pengukuran
menggunakan roll meter. Pengukuran luas penampang jalur udara ini meliputi
pengukuran terhadap luas lubang bukaan, luas parit, dan luas pipa.
Temperatur udara diukur
menggunakan sling psychrometer (lihat
Gambar 4.14). Pada alat tersebut terdapat dua buah termometer dalam skala derajat celcius yang diletakkan
berdampingan pada bingkai kayu. Fungsinya untuk mengukur temperatur cembung
kering (dry bulb temperature) yang
menunjukkan panas sebenarnya dan temperatur cembung basah (wet bulb temperature) yang menunjukkan temperatur pada saat terjadinya
penguapan air. Pengukuran temperatur dilakukan pada stasiun yang sama
pada saat pengukuran kecepatan aliran udara.
Pengukuran tekanan udara
menggunakan barometer bertujuan untuk mengetahui perbedaan tekanan udara pada
setiap titik pengukuran. Dengan diketahuinya perbedaan tekanan udara, maka
dapat diperkirakan arah pergerakan udara. Dimana udara akan selalu bergerak
dari tempat yang bertekanan tinggi ke tempat yang bertekanan lebih rendah.
4.2.5. Pengontrolan Ventilasi
Agar pengaturan
udara berjalan efektif, maka diperlukan berbagai peralatan atau
fasilitas pengontrol pada jalur udara tambang. Penggunaan dan penempatan
fasilitas pengontrol tersebut harus dapat memungkinkan aliran udara
terdistribusi secara proporsional ke berbagai lokasi yang dikehendaki. Adapun
alat-alat pengontrol udara ventilasi tersebut antara lain :
1. Penutup (Stopping)
Stopping dipasang pada
jalur udara tambang untuk menutup atau mencegah aliran udara. Stopping
dibedakan dalam dua macam yaitu : temporary stopping dan permanent stopping.
Temporary stopping biasanya terbuat dari papan/playwood, plastic dan
bahan-bahan lain yang kedap udara, temporary stopping dipasang pada
tempat-tempat kerja yang aktif dan cepat berubah, sehingga harus mudah
dibongkar-bongkar. Permanen stopping biasanya terbuat
dari plat besi, batubata, beton dan lain-lain. Karena penggunaannya untuk menutup
jalan udara dalam waktu yang tidak terbatas, maka harus dibuat kedap udara dan
tidak mudah retak. Permanen stopping ini banyak digunakan untuk menutup daerah
yang sudah selesai ditambang dan atau daerah bekas kebakaran.
2. Pintu
Angin (Doors)
Pintu angin sangat penting untuk
menghentikan aliran udara, pintu angin biasanya dibuat dari bahan-bahan kedap
udara yang kuat dapat digerakkan (buka/tutup), agar dapat dilalui orang atau
peralatan. Pintu angin ada yang tahan api dan dapat menutup secara otomatis
bila terjadi kebakaran atau peledakan. Disamping itu untuk menyetop udara juga
dapat digunakan sebagai pengatur/regulator bila dibutuhkan.
|
Regulator
|
Gambar 4.15. Pintu Angin dan Regulator
3.
Regulator (Pintu Pengatur)
Untuk mengatur kuantitas udara yang
mengalir maka diperlukan “regulator” guna membagi kuantitas udara, sehingga
masing-masing segmen jalan udara tercukupi kebutuhan udaranya. Regulator adalah
alat untuk mengatur besar kecilnya aliran udara yang akan melalui jalan itu.
Biasanya regulator dipasang pada pintu sehingga merupakan jendela dengan
penutup yang dapat digerakkan ke kanan dan ke kiri (menutup/membuka), ukurannya
bervariasi sesuai dengan kebutuhannya. Regulator ini merupakan alat untuk
menghasilkan tahanan buatan yang bertujuan untuk memperoleh kuantitas udara
yang diinginkan agar jalan udara atau permuka kerja tercukupi kebutuhan
udaranya.
4. Jembatan udara (Overcast atau Crossing)
Jembatan udara adalah alat untuk menghindari
pencampuran dua aliran udara yang bertemu pada suatu perempatan, dimana salah satu aliran udaranya dialihkan /
dilewatkan melalui jembatan udara. Jembatan udara dipasang di lorong perempatan antara
terowongan intake dan terowongan exhaust.
Gambar 4.16. Jembatan udara
4.2.6. Dasar – Dasar Perhitungan Jaringan Ventilasi
Prinsip
perhitungan jaringan ventilasi pada dasarnya merupakan pemahaman dari
teori pengaliran udara, sehingga
diperlukan dasar-dasar pengetahuan tentang mekanika fluida. Salah satu tujuan
dari perhitungan ventilasi tambang adalah penentuan kuantitas udara dan
rugi-rugi (kehilangan energi), yang keduanya dihitung berdasarkan perbedaan
energi.
Proses
pengaliran udara pada ventilasi tambang diasumsikan sebagai proses aliran tetap
(steady flow process). Dalam suatu
aliran tetap berlaku hukum kekekalan
energi, yang menyatakan bahwa energi total di dalam suatu sistem adalah
tetap, walaupun energi tersebut dapat diubah dari satu bentuk ke bentuk
lainnya. Perhatikan Gambar 4.17, dimana :
atau :
|
Gambar 4.17. Sistem Aliran Fluida
4.3.
Kebakaran dan
Ledakan Tambang Batubara Bawah Tanah
4.3.1. Penyebab
Kebakaran dan Ledakan Pada Tambang Batubara
Secara
umum kebakaran dapat terjadi bila dipenuhi tiga unsur pemicu kebakaran itu, yakni
adanya api, oksigen dan bahan bakar (triangle fire). Sedangkan ledakan dapat
terjadi jika ada 5 syarat yang terpenuhi, yakni ada panas (heat), bahan bakar
(fuel), udara (oxygen), ruang terisolasi (confinement), dan ada tahanan
(suspension). Untuk jelasnya perhatikan gambar berikut.
Gambar 4.18. Segi Lima Ledakan
4.3.2. Gas yang Dapat Meledak (Explosive
Gas)
Kecelakaan kerja pada tambang batubara bawah
tanah berupa kebakaran dan ledakan disebabkan adanya gas methan (CH4). Gas methan yang terdapat dari batubara
kadarnya bervariasi yakni:
1.
Batubara coklat dan antrasit (brown coal and anthracite) umumnya
sedikit gas methan, sedangkan pada batubara bituminous dan sub
bituminouslebih banyak.
2.
Batubara keras/padat (hard and dense coal) sedikit gas methan, sedangkan
batubara lunak (brittle coal) lebih banyak.
3.
Batubara yang pengendapannya terganggu (high volatile matter)
mungkin sangat banyak melepaskan gas methan.
4.
Lapisan batubara pada patahan (faults) dan lipatan (folds)
atau rekahan mungkin banyak melepaskan gas methan.
5.
Bagian atas (roof) dan bagian bawah (floor) terbentuk dari
serpihan material lempungan yang tahan api (impermeable clay shale)
dapat mengeluarkan banyak gas methan, sedangkan pada lapisan endapan pasir
kasar akan sedikit gas methan yang dilepaskan.
6.
Semakin dalam letak lapisan batubara dari permukaan tanah, akan semakin
banyak gas methan yang dapat keluar dari padanya, hal ini disebabkan oleh adanya tekanan dan panas yang
semakin tinggi.
Pada umumnya pelepasan gas methan dari
lapisan batubara itu dapat berupa pelepasan bebas, pemancaran (emission),
dan keluar dari celah bebatuan (outburst).
4.3.3. Keberadaan Gas Methan (Presence Of Methane)
Gas methan yang keluar dari batubara teremisi
ke udara di sekitarnya. Karena gas ini lebih ringan dari udara, maka dia berada
pada bagian atas (langit-langit terowongan). Gas ini cenderung berada pada
bahagian akhir lobang bukaan tambang bawah tanah (tail gate of the longwall
face), lobang naik (raise end), dan bahagian atap (caved roofs).
4.3.4. Potensi
Ledakan Gas Methan dan Debu Batubara.
Berikut ini dijelaskan bagaimana komposisi
masing-masing bahan tersebut, sehingga terjadi ledakan tambang.
1. Konsentrasi
gas methan
Gas methan dapat meledak pada konsentrasi antara 5 – 15% di udara sekitarnya pada tekanan
normal. Sedangkan ledakan terbesar dan berbahaya akan terjadi pada konsentrasi
9,5%.
2. Pengaruh
debu tertahan
Bila debu batubara,
yang butirannya sangat halus, dengan konsentrasi 10,3 gram/m3 volume udara, beterbangan ke udara
sekitarnya, membentuk awan debu batubara, dan jika pada saat bersamaan ada
pijaran bunga api, maka akan terjadi ledakan debu batubara itu.
Berdasarkan hasil percobaan, didapatkan bahwa
konsentrasi campuran antara debu batubara dengan gas methan yang dapat meledak
adalah sebagai tertera pada tabel.
Tabel.4.3 Konsentrasi Minimum Campuran Gas Methan dan Debu
Batubara yang Dapat Meledak
Jumlah Debu Batubara(gr/m3)
|
0,00
|
10,3
|
17,4
|
27,9
|
37,7
|
47,8
|
Konsentrasi Gas Methan (%)
|
4,85
|
3,70
|
3,00
|
1,70
|
0,60
|
0,00
|
4.3.5. Gejala ledakan gas methan
Apabila
terjadi campuran antara udara dan gas methan dan di sana terjadi pijaran api,
maka pertama akan terjadi kebakaran. Proses kebakaran ini menghasilkan karbon
dioksida (CO2) dan uap air dengan reaksi kimia : CH4 + 2O2 = CO2 + 2H2O.
Ledakan
akan timbul bila pada lokasi tersebut sedang ada awan debu batubara (debu
batubara yang sedang beterbangan. Ledakan pada suatu lokasi akan memberikan
getaran ke daerah tetangganya sehingga debu batubara yang tadinya terendapkan
akan berhamburan pula, dan untuk selanjutnya akan terjadi lagi ledakan beruntun
sampai semua bahan potensial ledakan habis terbakar dan meledak.
Bila
jumlah oksigen berkurang, gas akan terbakar secara tidak sempurna menghasilkan
karbon monoksida (CO) yang sangat beracun, hydrogen (H), dan air (H2O).
Reaksi kimianya: CH4 +
O2 = CO + H2 + H2O
4.3.6. Teknik Pencegahan Ledakan
Guna menghindari
berbagai kecelakaan kerja pada tambang batubara bawah tanah, terutama dalam
bentuk ledakan gas dan debu batubara, perlu dilakukan tindakan pencegahan.
Tindakan pencegahan ledakan ini harus dilakukan oleh segenap pihak yang terkait
dengan pekerjaan pada tambang bawah tanah tersebut.
Beberapa hal yang
perlu dipelajari dalam rangka pencegahan ledakan batubara ini adalah:
1.
Pengetahuan dasar-dasar terjadinya ledakan, membahas:
o
Gas-gas dan debu batubara yang mudah terbakar/meledak
o
Karakteristik gas dan debu batubara
o
Sumber pemicu kebakaran/ledakan
2.
Metode eliminasi penyebab ledakan, antara lain:
o
Pengukuran konsentrasi gas dan debu batubara
o
Pengontrolan sistem ventilasi tambang
o
Pengaliran gas (gas drainage)
o
Penggunaan alat ukur gas dan debu batubara yang handal
o
Penyiraman air (sprinkling water)
o
Pengontrolan sumber-sumber api penyebab kebakaran dan ledakan
3.
Teknik pencegahan ledakan tambang
o
Penyiraman air (water sprinkling)
o
Penaburan debu batu (rock dusting)
o
Pemakaian alat-alat pencegahan standar.
4.
Fasilitas pencegahan penyebaran kebakaran dan ledakan, antara lain:
o
Lokalisasi penambangan dengan penebaran debu batuan
o
Pengaliran air ke lokasi potensi kebakaran atau ledakan
o
Penebaran debu batuan agak lebih tebal pada lokasi rawan
5.
Tindakan pencegahan kerusakan akibat kebakaran dan ledakan:
o
Pemisahan rute (jalur) ventilasi
o
Evakuasi, proteksi diri, system peringatan dini, dan penyelamatan secara tim.
Sesungguhnya kebakaran tambang dan ledakan
gas atau debu batubara tidak akan terjadi jika sistem ventilasi tambang
batubara bawah tanah itu cukup baik.
4.3.7. Pemasangan Alat Deteksi Gas
Methan
Dari hasil pengujian laboratorium konsentrasi gas
metana hasil pengukuran dengan alat deteksi gas metana hasil rancangan dan alat
multigas detector menunjukan nilai yang hampir sama dengan perbedaan sebesar
0,02% sampai dengan 0,03% volume.
Dari uji ketahanan (endurance) selama 45 jam sampai
baterai sudah tidak dapat menahan daya dari komponen pada alat hasil rancangan,
alat deteksi gas terbukti dapat melakukan perekaman data dengan hasil yang
stabil dan mengurangi performance dari alat tersebut untuk merekam data.
Uji coba Lapangan 1 dilaksanakan di tambang batubara
bawah tanah Sawahluwung, Sumatera Barat. Dari hasil uji coba pengukuran
konsentrasi gas pada beberapa titik pengukuran menggunakan alat deteksi gas
metana hasil rancangan dan juga multigas detector sebagai pembanding menunjukan
nilai yang hampir sama dengan perbedaan sebesar 0,04% sampai dengan 0,08%
volume. Pada pengujian lapangan ini juga dilakukan pengukuran pada lokasi yang
dekat dengan daerah yang telah di seal, konsentrasi gas metana pada titik
pemantauan tersebut sebesar 1,33% pada hasil pengukuran menggunakan alat
deteksi gas hasil rancangan, dan sebesar 1,3% pada hasil pengukuran menggunakan
alat multigas detector.
Uji coba Lapangan 2 dilaksanakan pada tambang batubara
Loa Ulung, Kalimantan Timur. Dari hasil uji coba pengukuran gas metana pada
beberapa titik pengukuran menggunakan alat deteksi hasil rancangan dan juga
alat detector gas, terdapat perbedaan konsentrasi gas metana sebesar 0 sampai
dengan 1,09%. Perbedaan tersebut lebih besar bila dibandingkan dengan hasil
pengujian lapangan sebelumnya, di mana perbedaan konsentrasi gas hanya sebesar
0,04% sampai dengan 0,09%. Hal tersebut menunjukan bahwa setiap alat deteksi
mempunyai keakuratan yang berbeda. Oleh sebab itu masih perlu dilakukan
pengembangan dan pengujian lebih lanjut terhadap alat deteksi gas dengan
menggunakan sinar inframerah hasil rancangan.
Konsentrasi gas metana pada titik pemantauan W2A DAM
melampaui nilai ambang batas sebesar 1%, sedangkan pada lokasi tersebut
konsentrasi gas metana sebesar 1,05% dari hasil pengukuran dengan menggunakan
alat deteksi hasil rancangan, sedangkan hasil pengukuran dengan menggunakan gas detektor sebesar 2,0%,
begitu juga pada lokasi W3A DAM, konsentrasi gas metana hasil pengukuran
menggunakan gas detector sebesar 1,5%.
Perlu dilakukan penanganan lebih lanjut untuk mengencerkan akumulasi gas pada
kedua lokasi tersebut. Antara lain dengan penambahan kipas tambahan yang pada
kedua lokasi, atau dengan menambahkan kapasitas pompa utama.
Perbedaan konsentrasi hasil pengukuran pada skala
laboratorium lebih kecil dibandingkan perbedaan pada hasil pengukuran di
lapangan, hal tersebut dimungkinkan karena ruangan yang digunakan lebih kecil
dan aliran udara yang diberikan lebih stabil, sedangkan dari hasil pengujian di
lapangan, diperoleh perbedaan konsentrasi yang lebih besar, dan berbeda antara
dua macam alat pembanding yang digunakan. Hal tersebut dapat disebabkan oleh
faktor perbedaan waktu pada proses pengukuran dan proses pencacahan, kesalahan
manusia (human error) dan juga perbedaan keakuratan pada masing-masing alat.
Secara umum, alat yang telah dirancang ini sudah dapat
digunakan sebagai pendeteksi gas metana di tambang batubara bawah tanah, namun
untuk mengetahui keakuratan alat secara pasti perlu dilakukan uji coba lebih lanjut dengan mengunakan sistem yang lebih
baik dan waktu uji coba yang lebih lama.
Sebagai pengembangan lebih lanjut, alat ini dapat dikoneksi ke sistem
monitoring terpusat.
V.
PENUTUP
5.1. Simpulan
Berbeda
dengan tambang permukaan (open cut) yang lebih terfokus pada manajemen
mobilisasi alat berat, tambang dalam jauh lebih banyak memerlukan perhitungan
baik dari segi perencanaan penambangan maupun keselamatan, karena kondisi
kerjanya yang lebih ekstrim. Sehingga sangatlah tidak masuk akal apabila
operasional tambang bawah tanah sampai dilakukan oleh pihak – pihak yang tidak
berkompeten, dalam hal ini adalah pelaku tambang rakyat ilegal.
Oleh
karena itu, sudah seharusnya instansi yang berwenang benar – benar memahami
karakteristik metode penambangan bawah tanah ini, sehingga tindakan antisipatif
dapat dilakukan untuk mencegah timbulnya bencana di tambang dalam.
Kemudian
yang jauh lebih penting lagi adalah aparat harus berani melarang kegiatan
penambangan tanpa ijin (PETI) karena terbukti lebih banyak menimbulkan kerugian
bagi banyak pihak, disamping aktivitas itu sendiri sudah jelas–jelas melanggar
hukum.
Langganan:
Postingan (Atom)